Tarif Pajak Digital 19% Dipertahankan, Indonesia Sepakati Transfer Data ke AS

BERITA TERKINI15 Dilihat

Jakarta, Indonesia – Isu transfer data lintas negara kembali menjadi bahan pembicaraan panas di tengah publik dan komunitas kebijakan. Pemerintah Indonesia akhirnya secara resmi mengungkap maksud di balik deal transfer data ke Amerika Serikat yang dikaitkan dengan pemberlakuan tarif pajak digital sebesar 19%. Kesepakatan ini memunculkan berbagai respons, mulai dari kekhawatiran atas kedaulatan data nasional hingga sorotan terhadap strategi diplomasi digital Indonesia dalam menghadapi raksasa teknologi dunia.

Latar Belakang: Pajak Digital dan Ketimpangan Ekonomi Teknologi

Kesepakatan ini bermula dari negosiasi panjang antara pemerintah Indonesia dengan sejumlah negara mitra ekonomi, khususnya Amerika Serikat, terkait implementasi pajak layanan digital internasional yang menjadi bagian dari solusi global atas ketimpangan sistem pajak lintas negara.

Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan tarif sebesar 19% atas aktivitas ekonomi digital yang melibatkan perusahaan teknologi asing, terutama platform digital besar seperti Google, Meta, Amazon, hingga Netflix.

Namun, pemberlakuan tarif tersebut menuai respons keras dari pemerintah AS dan Uni Eropa yang menganggap kebijakan pajak digital unilateral Indonesia bisa mengganggu stabilitas perdagangan global, kecuali jika Indonesia bersedia menyesuaikan diri dengan kerangka kerja OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

Deal Transfer Data Jadi “Win-Win Solution” Diplomatik

Untuk meredam tensi dan menghindari retaliasi dagang, Indonesia akhirnya menawarkan skema kerja sama transfer data strategis dengan Amerika Serikat. Dalam dokumen kesepahaman yang kini menjadi perhatian publik, disebutkan bahwa Indonesia bersedia memberikan akses terbatas dan terkendali terhadap data agregat pengguna digital sebagai bentuk transparansi lintas batas, dengan imbalan pengakuan tarif 19% yang tetap diberlakukan tanpa sanksi dagang dari AS.

“Deal ini adalah bagian dari diplomasi ekonomi digital. Kami menjaga kedaulatan, tapi juga memastikan kebijakan pajak kita tidak memicu tekanan geopolitik,” ujar pejabat Kementerian Kominfo yang enggan disebut namanya.

Kesepakatan ini disebut sebagai “akses informasi terbatas untuk kepentingan fiskal dan audit internasional” dan bukan dalam bentuk jual beli data pribadi, yang dikhawatirkan sejumlah pihak.

Isi Kesepakatan: Data Apa yang Ditransfer dan Siapa yang Mengelola?

Dari hasil investigasi yang dilakukan oleh sejumlah media nasional dan LSM digital seperti SAFEnet, diketahui bahwa data yang menjadi bagian dari kesepakatan ini bukan data pribadi pengguna perorangan, melainkan:

  • Data agregat transaksi digital
  • Laporan aktivitas bisnis platform digital asing di Indonesia
  • Data analisis perilaku pasar secara makro
  • Pola konsumsi digital dan iklan lintas negara

Seluruh data akan dikompilasi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Pusat Data Nasional, lalu diserahkan kepada Kementerian Keuangan untuk diteruskan secara terbatas dalam laporan kerja sama fiskal bilateral.

Pemerintah memastikan data tersebut tidak melanggar prinsip Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27 Tahun 2022), karena seluruh informasi telah dienkripsi dan dipisahkan dari identitas pengguna.

Pro dan Kontra di Publik dan Komunitas Digital

Kesepakatan ini menuai pro dan kontra. Kalangan pengusaha dan pelaku startup menyambut baik langkah ini karena dianggap memberikan kejelasan terhadap skema pajak digital yang adil, sekaligus menghindarkan Indonesia dari kemungkinan dijatuhi tarif balasan oleh AS.

Namun di sisi lain, komunitas digital dan aktivis perlindungan data menyuarakan kekhawatiran bahwa kesepakatan ini bisa membuka celah pengawasan digital dari luar negeri terhadap aktivitas ekonomi dalam negeri.

“Bukan masalah teknisnya, tapi soal preseden. Sekali kita berikan celah akses data lintas negara demi ekonomi, kita berisiko menormalkan pelanggaran kedaulatan digital,” ujar Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet.

Pemerintah: Tidak Ada Data Pribadi yang Bocor

Menanggapi kritik tersebut, pemerintah menegaskan bahwa keseluruhan transfer data dilakukan di bawah pengawasan ketat dan hanya terbatas pada kebutuhan audit perpajakan global yang telah disepakati dalam skema Pilar 1 OECD/G20 Inclusive Framework.

“Kita tidak menjual data. Kita ikut arsitektur pajak internasional yang adil, tapi dengan batas kedaulatan yang jelas,” tegas Menteri Keuangan dalam RDP bersama DPR Komisi XI.

Tarif 19% Tetap Berlaku, Tapi Tekanan Perdagangan Direda

Berkat kesepakatan ini, tarif pajak digital 19% tetap diberlakukan terhadap perusahaan digital asing, tanpa retaliasi dari AS. Pemerintah juga menyebut bahwa potensi penerimaan negara dari sektor digital akan meningkat signifikan pada 2025, dengan proyeksi pendapatan lebih dari Rp 13 triliun hanya dari sektor layanan digital lintas negara.

Kesimpulan: Diplomasi Data dan Pajak di Era Digital

Deal transfer data ke AS demi mempertahankan tarif 19% menjadi bukti bahwa isu ekonomi digital dan kedaulatan data kini tak bisa dipisahkan. Di tengah tekanan ekonomi dan teknologi global, Indonesia berusaha mengambil posisi strategis: membuka sebagian akses data, tapi menjaga kendali penuh atas kedaulatan digital nasional.

Pertanyaannya sekarang: sejauh mana transparansi dan akuntabilitas akan dijaga dalam pelaksanaan kesepakatan ini? Dan apakah ini akan jadi preseden bagi negara lain dalam menghadapi tekanan geopolitik ekonomi berbasis data?

BACA ARTIKEL LAINNYA DISINI>> https://smkpgricepu.sch.id/